Rindu yang Asu

Oktober 20, 2016 Agatha Ega 0 Comments

Pada meja belajar di waktu lampau
Kutitipkan memori tentang malam-malam penuh cemas dan haru
Saat harus kusalin soal-soal dan jawaban yang tak kutemukan di buku
Sedang semangatku harus tetap menderu sambil mendengarkan lagu-lagu
Pada gang gelap yang menyaksikanku tersedu
Kutitipkan rahasia tentang kisah cinta jarak jauh yang menjadikannya titik temu
Juga saksi tentang salam perpisahan yang kadang manis juga biru
Aku sedang memaki waktu
Dan kadang bertanya-tanya untuk apa aku sekarang disini berguru
Sedang jiwaku tersesat pada benda dan tempat itu
Juga fantasi-fantasi lucu dan mimpi-mimpi semu
Saat aku masih lugu dan percaya di masa depan semua tak harus berlalu
Kini apa yang bisa kulakukan saat menyaksikan kerut di wajah bapak dan ibu
Dan mendengar mereka sedang mengeluh linu
Sedang untuk memijatnya saja aku tak mampu
Lagi yang membuatku teramat pilu
Tentang seorang tuan yang merantau dan membuatku menunggu
Tapi tak pernah kembali beserta janjinya yang keliru
Bisakah aku tumbuh tanpa merasa letih dan lesu
Dan berjalan ke depan tanpa ragu
Karena rinduku yang asu
Kerap mengonggongi nostalgia dengan bau anyir yang terlalu
Ia terus berlari mengejarku yang terbelenggu
Dipikirnya aku hantu
Dengan luka di dada karena sembilu

0 komentar:

HelpNona Writing Contest: Mengapa Kamu tak Boleh Izinkan Dirimu Patah Hati

Juli 02, 2016 Agatha Ega 0 Comments


Patah hati tidak seperti berlatih naik sepeda, yang walaupun menimbulkan luka di lengan atau lututmu tapi ia memberimu candu, membuatmu mencuri waktu tiap pulang sekolah untuk kembali belajar. Ibumu akan menggelang-gelengkan kepala menyalahkan ayahmu yang terlalu dini membelikanmu sepeda. Tapi toh ayah tak akan menyesal, karena melihatmu jatuh dan bangun belajar sepeda dan melatihmu mengayuh adalah kebahagian kecil baginya. Tapi premis ini, sekali lagi tak sama dengan patah hati.

Source: modernhepburn.tumblr.com

Patah hati hanya membuang-membuang waktu. Lukanya tak bisa dibanggakan seperti luka belajar naik sepeda, dan tak ada yang ikut berbahagia dalam prosesi berpatah hatimu. Ayah dan ibu cemas melihatmu hanya mengurung diri di dalam kamar karena patah hati. Dan ketika saatnya kamu ingin pergi ke luar rumah kamu justru memilih terperangkap di club atau tempat hiburan lainnya, berharap di sana kamu bisa menggadaikan segala kenangan pahit itu. Kamu tahu kamu salah tempat, tapi kamu juga tahu, pegadaian mana yang mau menerima kenangan tentang mantan kekasih yang kamu sendiri sudah tidak memegang kartu garansinya. 

Celakanya teman-temanmu juga muak. Sesekali mereka memelukmu, memberikan sedikit saran dan motivasi, tapi kemudian jika kamu masih bersikukuh meneruskan patah hatimu, kamu akan benar-benar sendirian. Berapa banyak quotes move on di Instagram yang kamu like dan schreenshoot atau berapa tweet move on yang  kamu retweet?  Mereka yang mengikutimu di social media bahkan hanya akan merasa risih betapa timelinenya sudah seperti buku harianmu. Percayalah, patah hati membuatmu menjadi berbeda, norak, menyebalkan, dan tukang bolos. Kamu ingin bolos dari segala hal yang mengingatkanmu tentang dia. Celakanya, segalanya bisa mengingatkanmu tentang dia, karena dia masih bersarang di dalam kepalamu yang mulai kosong tak pernah lagi diisi dengan pengetahuan yang biasanya kamu dapat dari buku-buku favoritmu, dari kuliah dosen, atau dari ceramah pastur di Gereja. Kamu telah dianggap alpha oleh lingkungan sosialmu, dan kamu tak pernah menyangka kamu telah alpha dari dirimu sendiri.
Source: https://id.pinterest.com/pin/170855379592058050/

Waktu yang kamu buang-buang itu memang tidak sepenuhnya terbuang. Setidaknya ia telah berjasa membuatmu berjarak dengan masa lalu. Kamu mulai bersyukur, karena kenangan tentang dia mulai tak asik untuk diusik. Aroma tubuhnya, dialeknya ketika bercakap-cakap, dan letak tahi lalat di wajahnya kamu sudah mulai lupa. Saat kamu kegirangan mendapati dirimu telah move on, kamu baru menyadari bahwa bukan hanya masa lalu yang telah berlalu, tapi segalanya telah berlalu. Karena melupakan bukan final. Melupakan seseorang ternyata harus digadaikan dengan melupakan diri sendiri. Kamu menjadi tidak respect lagi dengan dirimu. Tubuhmu yang tak lagi indah dipandang, kantung mata yang menggantung akibat insomnia berat, mimpi-mimpi yang tertunda untuk dicapai, serta berbagai macam kesempatan yang kamu abaikan saat kamu patah hati yang tak pernah mampir lagi, itulah yang kini harus kamu hadapi. Patah hati seperti kucing kampung liar yang sudah kamu usir tapi kamu tidak menyadari ia melahirkan anak di kolong kasurmu dan kamu juga harus mengusir anak-anak kucing itu.

Source: rstyle.me

Jadi jika sekarang kamu sedang patah hati, jangan pernah izinkan itu terjadi. Jangan beri ia waktu! Ingat, rasanya tidak seperti belajar naik sepeda. Lebih baik jika kamu memang masih memiliki sepeda ambil sekarang di dalam garasi, kayuh ia menuju tempat favoritmu atau tempat yang benar-benar ingin kamu kunjungi, dan dalam perjalanan jangan pernah pikirkan orang yang telah membuatmu patah hati sedikitpun. Cukup hanya pikirkan tentang dirimu! Jadikan momen patah hati sebagai pertaruhan untukmu: untuk lebih self respect atau kalau tidak kamu akan benar-benar kehilangan dirimu sendiri. Seperti yang dilangsir dari www.helpnona.com: http://www.helpnona.com/cinta-diri.html , patah hati bisa kamu jadikan kesempatan untuk menjadi pribadi yang bebas dari tuntutan pacarmu dulu, kini kamu bisa lebih bebas untuk bereksplorasi . Dan jika kamu adalah golongan orang yang terlanjur menemukan “si anak kucing kampung” seperti perumpamaan di atas, tidak ada waktu lagi untuk menunda membereskannya. Kamu tidak perlu merawat dan mempertahankan hal-hal yang membebanimu akibat patah hati seakan itu adalah nasib yang tidak bisa diubah. Segera buang ia ke tempat yang tepat dan kembali menata hidup. Meskipun mencoba menemukan kembali dirimu yang dulu sebelum patah hati tidak mudah, setidaknya kamu tidak akan membuang waktu dengan percuma. Karena tidak ada yang percuma untuk menjadi pribadi yang bebas dari patah hati. Ayo Nona, mari #BertuturBerani untuk tidak mengizinkan dirimu patah hati!

0 komentar:

Gerah Ripah Lohjinawi

Maret 28, 2016 Agatha Ega 0 Comments

Pantasnya negeri ini disebut negeri ‘Gerah’ Ripah Loh Jinawi daripada Gemah Ripah Loh Jinawi yang biasa digunakan untuk menggambarkan Ibu Pertiwi yang makmur, subur, dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Negeri ini selalu bisa membuat penduduknya kegerahan. Konon katanya karena Indonesia dilintasi garis Katulistiwa yang menjadikannya beriklim tropis. Lantas dengan begitu, akankah kita berterimakasih pada sang Katulistiwa yang melintang dengan nyamannya di sana atau justru menyumpah-serapahinya? Pasalnya si garis imajiner itu tak tahu bahwa posisi tidurnya kadang membawa kegerahan yang tak hanya membuat keringat mengucur deras tetapi juga airmata dan darah? Loh kok bisa?

Dulu waktu saya masih duduk di bangku SMA, guru Geografi saya selalu bilang kalau posisi indonesia itu menguntungkan. Karenanya kita punya banyak keragaman Hayati, keragaman ras, suku, dan budaya. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar merasa beruntung? Apakah kita merasa bangga ketika keberagaman ini justru cuma bikin gerah?

Mau tidak mau kita harus menerima keberagaman sebagai sebuah anugerah. Kemudian ketika para pendiri negeri ini mulai berunding tentang ideologi, mereka menyematkan rasa syukurnya tersebut lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan yang dibawa oleh burung Garuda yang dinamai Pancasila dan sering kita temui bercokol gagah di atas kelas-kelas. Tidakkah Garuda Pancasila juga merasa kegerahan? Sayap-sayapnya kaku, tak bisa ia kepakkan. Sedangkan dengan kepala yang menghadap ke kanan membuatnya tak bisa melirik kebawah. Padahal di bawahnya, anak-anak sedang duduk di bangkunya masing-masing mendengarkan pelajaran Kewarganegaraan yang sedang membahas toleransi dengan menguap berkali-kali. Mereka ingin pulang saja untuk tidur siang, main Games, atau pergi ke Mall, hangout dengan gengnya sambil tak lupa update Path. Sungguh ironis.

Apa bentuk Garuda Pancasila perlu di update? Mungkin kepalanya harus di ganti dibawah, siap menerkam mereka yang tak menghormatinya. Mereka yang lupa cara meletakkan tangan di pelipis kepala untuk menunjukkan rasa hormat tapi lihai melemparkan batu ke pelipis temannya cuma gara-gara perbedaan tim sepak bola yang mereka jagokan. Mereka yang lebih cekatan menggunakan jari-jari tangannya untuk mengetik kalimat-kalimat bullyan pada kolom komentar Instagram, megomentari foto artis A yang pindah agama karena ikut suaminya. Atau membully pejabat B yang Tionghoa dan mencoba menduduki kursi pemerintahan tertinggi di Ibu Kota. Tidakkah jari-jari itu jauh lebih menemukan maknanya ketika saling merengkuh satu sama lain dalam rasa solidaritas?

Haruskah Garuda Pancasila berkapala 4 saja? Supaya bisa menghadap ke segala penjuru arah. Supaya ia juga bisa menoleh ke kanan dan kirinya. Supaya ia menyadari bahwa foto presiden dan wakil presiden di kanan kirinya sudah berganti untuk ke 7 kalinya. Yang setiap pergantiannya selalu membawa pergolakan. Pesta demokrasi yang terakhir membuat bangsa ini terbelah dua. Menodai suci dan beraninya merah-putih dengan black campaign. Gemuruh teriakan bersahutan ketika menjagokan sang nomor 1 atau nomor 2. Adu mulut hanya karena beda pendapat mengenai presiden mana yang lebih bisa diharapkan. Mereka lupa bahwa ada nomor 3 yang harus dijunjung tinggi, yaitu PERSATUAN INDONESIA.

Kawan, ini semua bukan salah Katulistiwa, Ibu Pertiwi, Tanah Air, atau Garuda Pancasila. Kegerahan ini sudah kelewatan. Haruskah kita sampai menelanjangi diri masing-masing karena saking gerahnya? Supaya malu. Supaya kita tahu walaupun warna kulit kita berbeda, agama kita berbeda, pilihan hidup kita berbeda tetapi kita tetap sama-sama seonggok daging yang disebut manusia. Namun apa hebatnya menjadi manusia jika ia tak menjadi manusia yang beradab?

Negeri ini sudah gerah karena iklimnya. Jadi jangan kita hembuskan angin permusuhan yang semakin membuat gerah. Kita butuh kesejukan dari senyum yang mengundang keramahan dan toleransi. Kita butuh kepala-kepala dingin yang tak mudah tersulut emosi hanya karena perbedaan pendapat. Jangan gantikan keringat dan darah perjuangan pendiri negeri ini yang merumuskan Bhinneka Tunggal Ika dengan keringat dan darah karena aksi anarkis. Jangan kau injak-injak orang-orang disekitarmu hanya karena mereka berbeda denganmu. Karena setidaknya kita semua berpijak pada tanah yang sama. Tanah yang diijinkan untuk diinjak oleh perbedaan.

0 komentar:

Tentang 2 Film Angga Dwimas Sasongko: Selalu Ada Saat Dimana Kita harus Berdamai dengan Masa Lalu

Februari 01, 2016 Agatha Ega 0 Comments

Menjadikan Film Cahaya dari Timur sebagai film terbaik FFI 2014 tidak membuat saya langsung tertarik untuk menonton film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko, well alasannya lebih karena saya tidak terlalu tertarik dengan cerita tentang sepak bola. Tetapi lain lagi saat kisah tentang kopi ─ sesuatu yang sebetulnya tidak saya pahami sama seperti sepak bola, membuat saya tertarik untuk menonton film Angga berikutnya yaitu, Filosofi Kopi. Alasan utamanya tentu saja karena saya pengagum karya Dee Lestari. Saya selalu dibikin penasaran bagaimana karya-karya Dee bertransformasi menjadi karya lain, terutama film. Setelah karya-karyanya sebelumnya yang juga sukses di filmkan, Dee baru memberi komentar puas saat Filosofi Kopi ini difilmkan. Absolutely, saya juga sependapat dengan Dee!

Hadirnya Chicco Jerikho dan Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody begitu nge-bland. Rasanya saya tidak tahu siapa lagi yang bisa berperan bagaikan soulmate dan berhasil menyuguhkan chemistry dua orang sahabat pria yang begitu real tapi tidak lebay selain mereka berdua. Keduanya saling melengkapi, Ben si Barista idealis dengan kata-kata andalannya yang “Gue gak pernah bercanda soal kopi” dan Jody si kalkulator berjalan yang selalu kepikiran gimana caranya bayar utang, walaupun berbeda cara pandang tetapi keduanya sama-sama kompak buat menghidupkan kedai Filosofi Kopi. Saya belum pernah menemukan jenis persahabatan antar pria yang semacam ini sebelumnya.


Jenny Jusuf adalah sosok yang juga berpengaruh dalam film Filosofi Kopi. Ia berhasil mengadaptasi cerpen Dee yang hanya beberapa lembar tersebut menjadi script film yang diperpanjang dengan tambahan cerita yang benar-benar tak terpikirkan, dan pastinya tidak akan membuat pembaca cerpen Filosofi Kopi protes. Hadirnya sosok El, cerita tentang masa lalu yang sepahit kopi, dan kenangan tentang sosok ayah masing-masing tokohnya menjadi tambahan cerita yang justru membuat film ini dekat dengan kehidupan dan bisa diterima bagi mereka yang bukan penikmat kopi.

Menurut saya, Filosofi Kopi adalah proyek berkelanjutan yang integrated dan keren banget. Mulai dari marketingnya yang membuat gebrakan user generated movie pertama, sampai kedainya yang bener-bener dibikin betulan dan dikelola oleh tim produksi Film ini sendiri. Filosofi Kopi rencananya juga akan dibuat sequelnya. Untuk sementara, judul yang dipilih untuk sequel Filosofi Kopi ini adalah, Ben & Jody.

Kesuksesan Filosofi Kopi yang utama tentu karena sang sutradara yang gak usah ditanyakan lagi seberapa passionatenya dia, Angga Dwimas Sasongko. Sumpah ya, sekarang saya mengaku saya kagum banget sama sosok yang satu ini. Dia adalah sosok sutradara yang usianya masih tergolong muda tapi berani bikin film antimainstream. Dia adalah sosok cerdas yang ketika bikin film bakal bela-belain memperkaya riset bertahun-tahun hanya untuk membuat filmnya semakin matang. Sosoknya yang humble juga membuat ia terus menerus membangun kolaborasi-kolaborasi keren dengan orang-orang kreatif dalam setiap karyanya. (Kamu bisa lihat interview santai tentang sosok dia di chanel Youtube Muvila.)

Sebuah karya manis yang berkolaborasi dengan Glenn Fredly, Surat dari Praha, menjadi film Angga berikutnya yang tidak ingin saya lewatkan. Karena baru nonton mungkin saya akan bercerita banyak. Glenn Fredly yang di film-film Angga sebelumnya juga ikut andil sebagai produser kali ini memiliki andil yang lebih luas lagi. Kolaborasi kali ini menjadi proyek yang seru baginya karena sekaligus memperingati momentum 20 tahun berkarya Glenn di belantika musik Indonesia. Yaaa, kamu akan menemukan 2 lagu Glenn yang memperindah film ini. Bukan hanya sebagai soundtrack tapi ikut mengalir dalam alur ceritanya. Keren bukan?

Ini bukan film musikal dan bukan seutuhnya film cinta. Misi utama Angga dalam film ini adalah untuk membuat film tentang sejarah bangsa ini dari sudut pandang yang terabaikan selama ini. Angga sendiri ketika menyampaikan pendapatnya tentang Surat dari Praha mengatakan, “Yang sayang pingin hadirin sebenernya kisah yang punya latar belakang sejarah, punya latar belakang politik, tapi dibalut dengan cinta dan musik”. Dan hasilnya, kenapa film ini begitu romantis? Why? Ia telah berhasil membungkus sejarah dalam cerita yang lebih bisa diterima orang awam, bahkan bukan hanya menerima tapi juga memaknainya.

Tokoh-tokoh dalam film ini tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh dalam Filosofi Kopi. Mereka semua main kembali namun dengan susunan tokoh dan karakter yang baru. Si cantik Julie Estelle kali ini yang menjadi peran utamanya. Peran utama prianya bukan lagi Chicco atau Rio, tapi aktor watak senior yang tidak pernah absen berakting setiap tahunnya, Tio Pakusadewo. Angga membutuhkan Tio untuk memerankan tokoh Jaya, seorang eksil,atau warga negara Indonesia yang terbuang di Praha karena gejolak politik pada waktu pergantian pemerintahan Suharto tahun 1965. Ia dan teman-temannya sesama mahasiswa yang dikuliahkan presiden Soekarno di Praha pada waktu itu menolak pemerintahan Suharto dan harus menerima konsekuensi dianggap komunis dan tidak bisa pulang ke Indonesia.

Sedangkan Julie berperan sebagai Laras, anak dari Sulastri, kekasih Jaya yang harus berpisah dengan Jaya karena peristiwa tersebut dan akhirnya menikah dengan pria lain. Berpuluh-puluh tahun kemudian, Sulastri meninggal dan ia meninggalkan wasiat yang meminta putrinya, Laras, untuk mengembalikan sekotak surat yang pernah Jaya kirimkan padanya beserta satu surat balasan untuk Jaya. Awalnya Laras tidak mau, namun karena ibunya baru akan memberikan warisan kepada Laras kalau surat-surat itu sudah diterima Jaya dan Laras dalam keadaan membutuhkan sertifikat rumah karena akan bercerai dengan suaminya, maka berangkatlah Laras ke Praha.


Walaupun Praha menyuguhkan keindahannya, namun tugas mengembalikan sekotak surat tersebut bukan tugas yang menyenangkan bagi Laras. Baginya Jaya adalah sosok yang telah membuat ibunya hidup dalam kungkungan kecewaan dan tidak benar-benar mencintai ayahnya, karena Jaya lah satu-satunya orang yang diharapkan ibunya. Hal itulah yang menjadikan keluarganya tidak harmonis, hubungan Laras dengan ibunyapun tidak akur.

Namun sial, tugas mengembalikan surat-surat itu ternyata tidak semudah yang Laras pikir, Jaya menolak surat-surat tersebut dan mengusir Laras. Namun dalam perjalanan pulang Laras harus kecopetan yang mengakibatkan semua barang bawaannya dirampas. Tidak ada pilihan lain, ia pun memohon untuk bisa tinggal sementara di apartmen Jaya. Dua orang yang saling berselisih itu akhirnya harus tinggal bersama untuk sementara.Tidak mudah bagi Jaya untuk menerima Laras, karena wajah Laras benar-benar mewarisi wajah cantik Sulastri, sosok yang ingin diikhlaskannya.

Dalam beberapa hari tersebut, Laras akhirnya sedikit demi sedikit mengetahui hal-hal tentang Jaya. Mengapa Jaya baru mengirim surat-surat itu ke ibunya setelah 20 tahun tidak ada kabar, mengapa Jaya terus menerus mengirim surat-surat itu walaupun ibunya tidak pernah membalas, dan mengapa Jaya tidak bisa kembali ke Indonesia untuk mengejar cintanya pada ibunya. Laras bahkan menemukan kesamaan antara dirinya dengan Jaya. Mereka sama-sama suka menulis lagu dan bermain piano. Jaya menulis lagu Sabda Rindu (salah satu lagu Glenn Fredly yang dibawakan dalam film ini) untuk mewakili perasaannya pada Sulastri. Sedangkan Laras juga menulis lagu namun belum diselesaikannya karena ia sudah tidak percaya lagi dengan cinta.



Jaya adalah orang yang setia. Tio Pakusadewo pun sempat mengungkapkan “Kalau habis lihat film ini rasanya akan merubah persepsi bahwa laki-laki itu nggak setia, bahwa ternyata ada laki-laki yang segitu setianya menjaga cintanya”. Ada satu kalimat dalam film ini yang membuat saya terharu, saat Jaya bilang, “Dulu saya berjanji dua hal pada Sulastri, yang pertama saya akan menikahinya kalau saya lulus dan pulang ke Indonesia, dan yang kedua saya akan mencintainya selama-lamanya, siapa yang tahu kalau ternyata saya hanya bisa menepati janji saya yang kedua”. Sumpah... saya gak bisa bayangin rasanya jadi Jaya, kehilangan kekasih, keluarga,kewarganegaraan, mimpi-mimpinya dan hanya bisa mencintai satu wanita yang tidak bisa dimilikinya seumur hidupmya. Ia yang seharusnya bisa menjadi sarjana nuklir, harus menjadi tukang bersih-bersih, tinggal di apartmen sempit. Temannya hanyalah seekor anjing bernama Bagong, dan seorang mahasiswa Indonesia yang bekerja parttime di bar langganannya, Dewa (diperankan oleh Rio Dewanto). Seorang wanita Praha pemilik perpustakaan yang juga dekat dengan Jaya pun juga tidak berhasil membuat Jaya move on dari Sulastri.

Kalau kamu mengharapkan film ini akan banyak adegan flashback ke masa lalu ke tahun 65, kamu tidak akan menemukannya. Semua adegan terjadi di masa sekarang. Semua kisah masa lalu tentang pergejolakan politik itu hanya dituturkan lewat dialog atau bahkan dalam perdebatan antara Jaya dengan Laras. Film ini juga turut menghadirkan tokoh-tokoh nyata para eksil Indonesia di Praha. Kejutan lainnya, saya tidak menyangka Julie dan Tio memiliki suara yang merdu dan menjadikan lagu Sabda Rindu dan Nyali Terakhir di sepanjang film ini mengalun dengan indahnya, apalagi saat Julie memainkan Piano dan ditambah Tio yang memainkan Harmonika dengan begitu keren. Dua lagu tersebut memang pas menggambarkan perasaan Jaya dan Laras dalam film ini.

Filosofi Kopi dan Surat dari Praha adalah dua film karya Angga yang layak untuk diapresiasi. Bagi saya pribadi, saya belajar banyak dari dua film tersebut. Di Filosofi Kopi kita belajar tentang persahabatan, tentang kesederhanaan, dan walaupun tidak ada yang sempurna, namun hidup indah begini adanya. Di Surat dari Praha kita belajar tentang kesetiaan, mengikhlaskan, dan keberanian, sama seperti beraninya mahasiswa-mahasiswa eksil yang menolak orde baru dan harus menerima segala konsekuensinya. Kita masih beruntung hidup dengan baik di masa sekarang dan tidak melewati masa-masa yang kelam bagi mereka tersebut.

Satu kesamaan dari dua film tersebut adalah tentang kita yang harus belajar untuk mau saling memahami dan berdamai dengan masa lalu...

Kita bisa berkaca pada Ben yang berdamai dengan masa lalu bersama ayahnya yang ditinggalkannya karena kesalahpahaman, dan Jaya yang berdamai dengan pemerintahan yang membuangnya.


0 komentar:

Total Tayangan Halaman