Gerah Ripah Lohjinawi

Maret 28, 2016 Agatha Ega 0 Comments

Pantasnya negeri ini disebut negeri ‘Gerah’ Ripah Loh Jinawi daripada Gemah Ripah Loh Jinawi yang biasa digunakan untuk menggambarkan Ibu Pertiwi yang makmur, subur, dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Negeri ini selalu bisa membuat penduduknya kegerahan. Konon katanya karena Indonesia dilintasi garis Katulistiwa yang menjadikannya beriklim tropis. Lantas dengan begitu, akankah kita berterimakasih pada sang Katulistiwa yang melintang dengan nyamannya di sana atau justru menyumpah-serapahinya? Pasalnya si garis imajiner itu tak tahu bahwa posisi tidurnya kadang membawa kegerahan yang tak hanya membuat keringat mengucur deras tetapi juga airmata dan darah? Loh kok bisa?

Dulu waktu saya masih duduk di bangku SMA, guru Geografi saya selalu bilang kalau posisi indonesia itu menguntungkan. Karenanya kita punya banyak keragaman Hayati, keragaman ras, suku, dan budaya. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar merasa beruntung? Apakah kita merasa bangga ketika keberagaman ini justru cuma bikin gerah?

Mau tidak mau kita harus menerima keberagaman sebagai sebuah anugerah. Kemudian ketika para pendiri negeri ini mulai berunding tentang ideologi, mereka menyematkan rasa syukurnya tersebut lewat semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan yang dibawa oleh burung Garuda yang dinamai Pancasila dan sering kita temui bercokol gagah di atas kelas-kelas. Tidakkah Garuda Pancasila juga merasa kegerahan? Sayap-sayapnya kaku, tak bisa ia kepakkan. Sedangkan dengan kepala yang menghadap ke kanan membuatnya tak bisa melirik kebawah. Padahal di bawahnya, anak-anak sedang duduk di bangkunya masing-masing mendengarkan pelajaran Kewarganegaraan yang sedang membahas toleransi dengan menguap berkali-kali. Mereka ingin pulang saja untuk tidur siang, main Games, atau pergi ke Mall, hangout dengan gengnya sambil tak lupa update Path. Sungguh ironis.

Apa bentuk Garuda Pancasila perlu di update? Mungkin kepalanya harus di ganti dibawah, siap menerkam mereka yang tak menghormatinya. Mereka yang lupa cara meletakkan tangan di pelipis kepala untuk menunjukkan rasa hormat tapi lihai melemparkan batu ke pelipis temannya cuma gara-gara perbedaan tim sepak bola yang mereka jagokan. Mereka yang lebih cekatan menggunakan jari-jari tangannya untuk mengetik kalimat-kalimat bullyan pada kolom komentar Instagram, megomentari foto artis A yang pindah agama karena ikut suaminya. Atau membully pejabat B yang Tionghoa dan mencoba menduduki kursi pemerintahan tertinggi di Ibu Kota. Tidakkah jari-jari itu jauh lebih menemukan maknanya ketika saling merengkuh satu sama lain dalam rasa solidaritas?

Haruskah Garuda Pancasila berkapala 4 saja? Supaya bisa menghadap ke segala penjuru arah. Supaya ia juga bisa menoleh ke kanan dan kirinya. Supaya ia menyadari bahwa foto presiden dan wakil presiden di kanan kirinya sudah berganti untuk ke 7 kalinya. Yang setiap pergantiannya selalu membawa pergolakan. Pesta demokrasi yang terakhir membuat bangsa ini terbelah dua. Menodai suci dan beraninya merah-putih dengan black campaign. Gemuruh teriakan bersahutan ketika menjagokan sang nomor 1 atau nomor 2. Adu mulut hanya karena beda pendapat mengenai presiden mana yang lebih bisa diharapkan. Mereka lupa bahwa ada nomor 3 yang harus dijunjung tinggi, yaitu PERSATUAN INDONESIA.

Kawan, ini semua bukan salah Katulistiwa, Ibu Pertiwi, Tanah Air, atau Garuda Pancasila. Kegerahan ini sudah kelewatan. Haruskah kita sampai menelanjangi diri masing-masing karena saking gerahnya? Supaya malu. Supaya kita tahu walaupun warna kulit kita berbeda, agama kita berbeda, pilihan hidup kita berbeda tetapi kita tetap sama-sama seonggok daging yang disebut manusia. Namun apa hebatnya menjadi manusia jika ia tak menjadi manusia yang beradab?

Negeri ini sudah gerah karena iklimnya. Jadi jangan kita hembuskan angin permusuhan yang semakin membuat gerah. Kita butuh kesejukan dari senyum yang mengundang keramahan dan toleransi. Kita butuh kepala-kepala dingin yang tak mudah tersulut emosi hanya karena perbedaan pendapat. Jangan gantikan keringat dan darah perjuangan pendiri negeri ini yang merumuskan Bhinneka Tunggal Ika dengan keringat dan darah karena aksi anarkis. Jangan kau injak-injak orang-orang disekitarmu hanya karena mereka berbeda denganmu. Karena setidaknya kita semua berpijak pada tanah yang sama. Tanah yang diijinkan untuk diinjak oleh perbedaan.

0 komentar:

Total Tayangan Halaman