Sandur, Intan Yang Terpendam

Oktober 14, 2013 Agatha Ega 6 Comments

Potensi lokal bak intan. Harus digali untuk mendapatkannya, harus diasah agar berkilau, menampilkan keindahannya. Betapa beruntung kita, karena seluruh pelosok negeri ini dianugrahi banyak potensi yang menunggu untuk ditemukan dan dikilaukan. Begitupun dengan Bojonegoro, kota di mana saya sekarang tinggal untuk menempuh pendidikan. Saya yakin Bojonegoro tak luput dari keberuntungan yang dimiliki negeri ini.

Jika kita menyebut nama kota kecil ini di kota-kota besar, sering kita mendapati selorohan seperti “Bojonegoro itu letaknya dimana sih? Emangnya di peta ada ya?” Miris mendengarnya. Betapa Bojonegoro menjadi kota yang belum dikenal banyak orang. Bojonegoro memang bukan kota metropolitan dengan gemerlap hiburan, Bojonegoro hanyalah kota yang belum menunjukkan “kilaunya”.

Sebenarnya banyak sekali potensi yang bisa kita temukan dari Bojonegoro. Misalnya, dari segi ekonomi. Bojonegoro memiliki tambang minyak yang sangat berpotensi untuk meningkatkan perekonomian daerah. Dari segi pariwisata, Bojonegoro memiliki beberapa obyek wisata seperti Bendungan Gerak, Kayangan Api, juga Waduk Pacal, dan lain-lainnya, semua menjadikan Bojonegoro kota yang diminati para wisatawan domestik maupun luar untuk berkunjung. Dari segi budaya? Jangan salah, Bojonegoro punya segudang tradisi, kisah sejarah, maupun kesenian!

Jika kita pernah menengok ke belakang ada sebuah potensi di bidang kesenian yang luput dari pandangan kita. Kesenian apakah itu? Sandur. Mungkin kita asing mendengarnya. Memang Sandur pernah “berkilau” di eranya, namun perlahan meredup, bahkan nyaris musnah. Sandur merupakan perpaduan antara tari dan teater tradisional. Pertunjukan teater dalam Sandur dimainkan oleh empat tokoh pakem yang harus ada, yaitu Cawik, Pethak, Balong, dan Tangsil. Mereka akan memainkan cerita yang berkaitan dengan agraria seperti bercocok tanam, mencari kerja, atau menikah. Biasanya pertunjukan ini diawali dengan tarian Jaranan dan di akhiri dengan atraksi  Kalongking.

Sandur berbeda dengan format pertunjukan lainnya. Inilah yang membuat sandur menjadi unik. Sandur dimainkan di arena yang dibentuk seperti ring tinju dengan rumbai janur kuning atau biasa disebut Blabar Janur Kuning. Para tokoh-tokoh yang bermain teater ditempatkan pada setiap sudut. Sedangkan di bagian tengah blabar diisi Panjak Hore. Mereka adalah sekumpulan penabuh gamelan sederhana dan penyanyi tembang-tembang yang mengiringi pertunjukan Sandur. Logat yang digunakan dalam berdialog pun unik; tidak seperti teater pada umumnya. Logat dalam Sandur memiliki cengkok-cengkok tertentu yang semakin menambah keunikan dan kekhasannya.

Keunikan Sandur tidak hanya itu saja. Pada jaman dulu, Sandur memang sering dipentaskan dalam pesta rakyat atau hajatan. Banyak sekali penikmat Sandur saat itu, mereka akan sangat excited dan berbondong-bondong menontonnnya. Kebanyakan dari mereka menunggu-nunggu penampilan Jaranan dan Kalongking. Sisi magis yang Jaranan dan Kalongking suguhkan dalam  setiap atraksinya konon menjadi daya tarik tersendiri. Untuk menciptakan atraksi-atraksi yang membuat ngeri itu ternyata prosesnya tidak sederhana. Para penari harus melakukan ritual Setren untuk mendapat daya untuk memperlancar atraksinya. Di sinilah unsur mistis yang berasal dari kepercayaan nenek-moyang; peninggalan animisme dan dinamisme. Persiapan Sandur harus menyiapkan sesajen bagi para roh leluhur, selain itu mereka juga harus menginapkan alat-alat dan kostum yang akan dibuatnya pentas selama semalaman di kuburan.

Sayang, semua keunikan dan kekhasan kesenian tradisional itu, tidak bertahan lama dinikmati. Pada masa pemberontakan G 30 S PKI, Sandur dinyatakan sebagai salah satu organ LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) salah satu ormas PKI. Kebijakan politik pada masa itu memberangus segala sesuatu yang berbau PKI, dan Sandurpun menderita nasib yang sama. Para pegiat Sandur di tangkap dan Sandur dilarang dipentaskan sejak itu. Sandur mati suri sekitar era 65-90an. Sandur hanya tinggal nama bagi para pelakunya. Baru setelah di tahun 90an ada pendokumentasian kesenian daerah, Sandur mulai berkutik kembali.

Para penggiat kesenian daerah mulai sedikit demi sedikit menghapus pandangan buruk tentang Sandur, mereka berniat untuk mengembalikan citra baik Sandur di mata masyarakat. Sandur mulai dipentaskan kembali dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Meskipun itu artinya fungsi Sandur menjadi bergeser, tidak lagi sebagai pertunjukan dalam pesta rakyat atau hajatan. Sandur bahkan mulai diperkenalkan pada para pelajar dengan masuknya Sandur dalam teater-teater sekolah. Para pelajar diajari bermain Sandur lalu mementaskannya. Sandurpun kini mulai dilibatkan dalam lomba dan ditampilkan dalam festival kesenian. Unsur-unsur mistis dari Sandurpun otomatis dihilangkan, juga terdapat improvisasi di sana-sini dalam penyajiannya, misalnya saja ide cerita yang disesuikan kebutuhan.

Sandur saat dipentaskan
Dalam exhibition ini Sandur dipentaskan keliling dibeberapa kampung di Jogja untuk memperkenalkannya pada masyarakat luas
Ketika Sandur dimainkan oleh para pelajar SMA
Grup Invalid Sandur dari Teater Lorong Putih SMAN 1 Bojonegoro

Beruntunglah, dengan adanya usaha-usaha menggali dan memberdayakan Sandur, masyarakat Bojonegoro patut berbangga hati. Ditemukan satu lagi potensi Bojonegoro. Kesenian pun membangun dan melestarikan kearifan lokal, selain itu juga menambah keanekaragaman jenis potensi Bojonegoro.

Keragaman jenis potensi lokal memang sangatlah bergantung pada pola pikir dan moral masyarakat. Bagaimana mereka mengenali akan adanya sebuah potensi untuk di gali, bagaimana mereka memiliki kesadaran untuk mempertahankan potensi yang sudah ada, dan bagaimana mereka mencari cara untuk mengembangkan sebuah potensi sebagaimana mestinya. Jika pola pikir dan moral yang baik telah tertanam dalam diri masyarakat Bojonegoro, semestinya mereka akan berlomba-lomba untuk menggali, mempertahankan, dan mengembangkan potensi-potensi lokal dari kota tercintanya ini.

Untuk itu, masyarakat Bojonegoro secara luas harusnya dapat lebih mengenal Sandur. Kita patut mempertahankannya sebagai budaya warisan leluhur, dan kemudian mengembangkannya untuk dapat dilihat di kancah yang lebih luas lagi. Tinggal sedikit lagi kita mengasahnya, kita bisa yakin Sandur akan kembali “berkilau” seperti sedia kala, atau bahkan lebih “berkilau”. Kilaukan Sandur, Kilaukan Bojonegoro!

*Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog: Potensi Lokal Bojonegoro oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan Komunitas Blogger Bojonegoro

6 komentar:

Total Tayangan Halaman