Tentang 2 Film Angga Dwimas Sasongko: Selalu Ada Saat Dimana Kita harus Berdamai dengan Masa Lalu

Februari 01, 2016 Agatha Ega 0 Comments

Menjadikan Film Cahaya dari Timur sebagai film terbaik FFI 2014 tidak membuat saya langsung tertarik untuk menonton film yang disutradarai Angga Dwimas Sasongko, well alasannya lebih karena saya tidak terlalu tertarik dengan cerita tentang sepak bola. Tetapi lain lagi saat kisah tentang kopi ─ sesuatu yang sebetulnya tidak saya pahami sama seperti sepak bola, membuat saya tertarik untuk menonton film Angga berikutnya yaitu, Filosofi Kopi. Alasan utamanya tentu saja karena saya pengagum karya Dee Lestari. Saya selalu dibikin penasaran bagaimana karya-karya Dee bertransformasi menjadi karya lain, terutama film. Setelah karya-karyanya sebelumnya yang juga sukses di filmkan, Dee baru memberi komentar puas saat Filosofi Kopi ini difilmkan. Absolutely, saya juga sependapat dengan Dee!

Hadirnya Chicco Jerikho dan Rio Dewanto sebagai Ben dan Jody begitu nge-bland. Rasanya saya tidak tahu siapa lagi yang bisa berperan bagaikan soulmate dan berhasil menyuguhkan chemistry dua orang sahabat pria yang begitu real tapi tidak lebay selain mereka berdua. Keduanya saling melengkapi, Ben si Barista idealis dengan kata-kata andalannya yang “Gue gak pernah bercanda soal kopi” dan Jody si kalkulator berjalan yang selalu kepikiran gimana caranya bayar utang, walaupun berbeda cara pandang tetapi keduanya sama-sama kompak buat menghidupkan kedai Filosofi Kopi. Saya belum pernah menemukan jenis persahabatan antar pria yang semacam ini sebelumnya.


Jenny Jusuf adalah sosok yang juga berpengaruh dalam film Filosofi Kopi. Ia berhasil mengadaptasi cerpen Dee yang hanya beberapa lembar tersebut menjadi script film yang diperpanjang dengan tambahan cerita yang benar-benar tak terpikirkan, dan pastinya tidak akan membuat pembaca cerpen Filosofi Kopi protes. Hadirnya sosok El, cerita tentang masa lalu yang sepahit kopi, dan kenangan tentang sosok ayah masing-masing tokohnya menjadi tambahan cerita yang justru membuat film ini dekat dengan kehidupan dan bisa diterima bagi mereka yang bukan penikmat kopi.

Menurut saya, Filosofi Kopi adalah proyek berkelanjutan yang integrated dan keren banget. Mulai dari marketingnya yang membuat gebrakan user generated movie pertama, sampai kedainya yang bener-bener dibikin betulan dan dikelola oleh tim produksi Film ini sendiri. Filosofi Kopi rencananya juga akan dibuat sequelnya. Untuk sementara, judul yang dipilih untuk sequel Filosofi Kopi ini adalah, Ben & Jody.

Kesuksesan Filosofi Kopi yang utama tentu karena sang sutradara yang gak usah ditanyakan lagi seberapa passionatenya dia, Angga Dwimas Sasongko. Sumpah ya, sekarang saya mengaku saya kagum banget sama sosok yang satu ini. Dia adalah sosok sutradara yang usianya masih tergolong muda tapi berani bikin film antimainstream. Dia adalah sosok cerdas yang ketika bikin film bakal bela-belain memperkaya riset bertahun-tahun hanya untuk membuat filmnya semakin matang. Sosoknya yang humble juga membuat ia terus menerus membangun kolaborasi-kolaborasi keren dengan orang-orang kreatif dalam setiap karyanya. (Kamu bisa lihat interview santai tentang sosok dia di chanel Youtube Muvila.)

Sebuah karya manis yang berkolaborasi dengan Glenn Fredly, Surat dari Praha, menjadi film Angga berikutnya yang tidak ingin saya lewatkan. Karena baru nonton mungkin saya akan bercerita banyak. Glenn Fredly yang di film-film Angga sebelumnya juga ikut andil sebagai produser kali ini memiliki andil yang lebih luas lagi. Kolaborasi kali ini menjadi proyek yang seru baginya karena sekaligus memperingati momentum 20 tahun berkarya Glenn di belantika musik Indonesia. Yaaa, kamu akan menemukan 2 lagu Glenn yang memperindah film ini. Bukan hanya sebagai soundtrack tapi ikut mengalir dalam alur ceritanya. Keren bukan?

Ini bukan film musikal dan bukan seutuhnya film cinta. Misi utama Angga dalam film ini adalah untuk membuat film tentang sejarah bangsa ini dari sudut pandang yang terabaikan selama ini. Angga sendiri ketika menyampaikan pendapatnya tentang Surat dari Praha mengatakan, “Yang sayang pingin hadirin sebenernya kisah yang punya latar belakang sejarah, punya latar belakang politik, tapi dibalut dengan cinta dan musik”. Dan hasilnya, kenapa film ini begitu romantis? Why? Ia telah berhasil membungkus sejarah dalam cerita yang lebih bisa diterima orang awam, bahkan bukan hanya menerima tapi juga memaknainya.

Tokoh-tokoh dalam film ini tidak jauh beda dengan tokoh-tokoh dalam Filosofi Kopi. Mereka semua main kembali namun dengan susunan tokoh dan karakter yang baru. Si cantik Julie Estelle kali ini yang menjadi peran utamanya. Peran utama prianya bukan lagi Chicco atau Rio, tapi aktor watak senior yang tidak pernah absen berakting setiap tahunnya, Tio Pakusadewo. Angga membutuhkan Tio untuk memerankan tokoh Jaya, seorang eksil,atau warga negara Indonesia yang terbuang di Praha karena gejolak politik pada waktu pergantian pemerintahan Suharto tahun 1965. Ia dan teman-temannya sesama mahasiswa yang dikuliahkan presiden Soekarno di Praha pada waktu itu menolak pemerintahan Suharto dan harus menerima konsekuensi dianggap komunis dan tidak bisa pulang ke Indonesia.

Sedangkan Julie berperan sebagai Laras, anak dari Sulastri, kekasih Jaya yang harus berpisah dengan Jaya karena peristiwa tersebut dan akhirnya menikah dengan pria lain. Berpuluh-puluh tahun kemudian, Sulastri meninggal dan ia meninggalkan wasiat yang meminta putrinya, Laras, untuk mengembalikan sekotak surat yang pernah Jaya kirimkan padanya beserta satu surat balasan untuk Jaya. Awalnya Laras tidak mau, namun karena ibunya baru akan memberikan warisan kepada Laras kalau surat-surat itu sudah diterima Jaya dan Laras dalam keadaan membutuhkan sertifikat rumah karena akan bercerai dengan suaminya, maka berangkatlah Laras ke Praha.


Walaupun Praha menyuguhkan keindahannya, namun tugas mengembalikan sekotak surat tersebut bukan tugas yang menyenangkan bagi Laras. Baginya Jaya adalah sosok yang telah membuat ibunya hidup dalam kungkungan kecewaan dan tidak benar-benar mencintai ayahnya, karena Jaya lah satu-satunya orang yang diharapkan ibunya. Hal itulah yang menjadikan keluarganya tidak harmonis, hubungan Laras dengan ibunyapun tidak akur.

Namun sial, tugas mengembalikan surat-surat itu ternyata tidak semudah yang Laras pikir, Jaya menolak surat-surat tersebut dan mengusir Laras. Namun dalam perjalanan pulang Laras harus kecopetan yang mengakibatkan semua barang bawaannya dirampas. Tidak ada pilihan lain, ia pun memohon untuk bisa tinggal sementara di apartmen Jaya. Dua orang yang saling berselisih itu akhirnya harus tinggal bersama untuk sementara.Tidak mudah bagi Jaya untuk menerima Laras, karena wajah Laras benar-benar mewarisi wajah cantik Sulastri, sosok yang ingin diikhlaskannya.

Dalam beberapa hari tersebut, Laras akhirnya sedikit demi sedikit mengetahui hal-hal tentang Jaya. Mengapa Jaya baru mengirim surat-surat itu ke ibunya setelah 20 tahun tidak ada kabar, mengapa Jaya terus menerus mengirim surat-surat itu walaupun ibunya tidak pernah membalas, dan mengapa Jaya tidak bisa kembali ke Indonesia untuk mengejar cintanya pada ibunya. Laras bahkan menemukan kesamaan antara dirinya dengan Jaya. Mereka sama-sama suka menulis lagu dan bermain piano. Jaya menulis lagu Sabda Rindu (salah satu lagu Glenn Fredly yang dibawakan dalam film ini) untuk mewakili perasaannya pada Sulastri. Sedangkan Laras juga menulis lagu namun belum diselesaikannya karena ia sudah tidak percaya lagi dengan cinta.



Jaya adalah orang yang setia. Tio Pakusadewo pun sempat mengungkapkan “Kalau habis lihat film ini rasanya akan merubah persepsi bahwa laki-laki itu nggak setia, bahwa ternyata ada laki-laki yang segitu setianya menjaga cintanya”. Ada satu kalimat dalam film ini yang membuat saya terharu, saat Jaya bilang, “Dulu saya berjanji dua hal pada Sulastri, yang pertama saya akan menikahinya kalau saya lulus dan pulang ke Indonesia, dan yang kedua saya akan mencintainya selama-lamanya, siapa yang tahu kalau ternyata saya hanya bisa menepati janji saya yang kedua”. Sumpah... saya gak bisa bayangin rasanya jadi Jaya, kehilangan kekasih, keluarga,kewarganegaraan, mimpi-mimpinya dan hanya bisa mencintai satu wanita yang tidak bisa dimilikinya seumur hidupmya. Ia yang seharusnya bisa menjadi sarjana nuklir, harus menjadi tukang bersih-bersih, tinggal di apartmen sempit. Temannya hanyalah seekor anjing bernama Bagong, dan seorang mahasiswa Indonesia yang bekerja parttime di bar langganannya, Dewa (diperankan oleh Rio Dewanto). Seorang wanita Praha pemilik perpustakaan yang juga dekat dengan Jaya pun juga tidak berhasil membuat Jaya move on dari Sulastri.

Kalau kamu mengharapkan film ini akan banyak adegan flashback ke masa lalu ke tahun 65, kamu tidak akan menemukannya. Semua adegan terjadi di masa sekarang. Semua kisah masa lalu tentang pergejolakan politik itu hanya dituturkan lewat dialog atau bahkan dalam perdebatan antara Jaya dengan Laras. Film ini juga turut menghadirkan tokoh-tokoh nyata para eksil Indonesia di Praha. Kejutan lainnya, saya tidak menyangka Julie dan Tio memiliki suara yang merdu dan menjadikan lagu Sabda Rindu dan Nyali Terakhir di sepanjang film ini mengalun dengan indahnya, apalagi saat Julie memainkan Piano dan ditambah Tio yang memainkan Harmonika dengan begitu keren. Dua lagu tersebut memang pas menggambarkan perasaan Jaya dan Laras dalam film ini.

Filosofi Kopi dan Surat dari Praha adalah dua film karya Angga yang layak untuk diapresiasi. Bagi saya pribadi, saya belajar banyak dari dua film tersebut. Di Filosofi Kopi kita belajar tentang persahabatan, tentang kesederhanaan, dan walaupun tidak ada yang sempurna, namun hidup indah begini adanya. Di Surat dari Praha kita belajar tentang kesetiaan, mengikhlaskan, dan keberanian, sama seperti beraninya mahasiswa-mahasiswa eksil yang menolak orde baru dan harus menerima segala konsekuensinya. Kita masih beruntung hidup dengan baik di masa sekarang dan tidak melewati masa-masa yang kelam bagi mereka tersebut.

Satu kesamaan dari dua film tersebut adalah tentang kita yang harus belajar untuk mau saling memahami dan berdamai dengan masa lalu...

Kita bisa berkaca pada Ben yang berdamai dengan masa lalu bersama ayahnya yang ditinggalkannya karena kesalahpahaman, dan Jaya yang berdamai dengan pemerintahan yang membuangnya.


0 komentar:

Total Tayangan Halaman