Sandur, Intan Yang Terpendam
Potensi lokal bak intan. Harus digali untuk mendapatkannya, harus diasah agar berkilau, menampilkan keindahannya. Betapa beruntung kita, karena seluruh pelosok negeri ini dianugrahi banyak potensi yang menunggu untuk ditemukan dan dikilaukan. Begitupun dengan Bojonegoro, kota di mana saya sekarang tinggal untuk menempuh pendidikan. Saya yakin Bojonegoro tak luput dari keberuntungan yang dimiliki negeri ini.
Jika kita menyebut
nama kota kecil ini di kota-kota besar, sering kita mendapati selorohan seperti
“Bojonegoro itu letaknya dimana sih? Emangnya
di peta ada ya?” Miris mendengarnya. Betapa Bojonegoro menjadi kota yang belum
dikenal banyak orang. Bojonegoro memang bukan kota metropolitan dengan gemerlap
hiburan, Bojonegoro hanyalah kota yang belum menunjukkan “kilaunya”.
Sebenarnya banyak sekali
potensi yang bisa kita temukan dari Bojonegoro. Misalnya, dari segi ekonomi.
Bojonegoro memiliki tambang minyak yang sangat berpotensi untuk meningkatkan
perekonomian daerah. Dari segi pariwisata, Bojonegoro memiliki beberapa obyek
wisata seperti Bendungan Gerak, Kayangan Api, juga Waduk Pacal, dan
lain-lainnya, semua menjadikan Bojonegoro kota yang diminati para wisatawan
domestik maupun luar untuk berkunjung. Dari segi budaya? Jangan salah,
Bojonegoro punya segudang tradisi, kisah sejarah, maupun kesenian!
Jika kita pernah
menengok ke belakang ada sebuah potensi di bidang kesenian yang luput dari
pandangan kita. Kesenian apakah itu? Sandur. Mungkin kita asing mendengarnya.
Memang Sandur pernah “berkilau” di eranya, namun perlahan meredup, bahkan
nyaris musnah. Sandur merupakan perpaduan antara tari dan teater tradisional.
Pertunjukan teater dalam Sandur dimainkan oleh empat tokoh pakem yang harus
ada, yaitu Cawik, Pethak, Balong, dan Tangsil. Mereka akan memainkan cerita
yang berkaitan dengan agraria seperti bercocok tanam, mencari kerja, atau
menikah. Biasanya pertunjukan ini diawali dengan tarian Jaranan dan di akhiri
dengan atraksi Kalongking.
Sandur berbeda dengan format pertunjukan lainnya. Inilah
yang membuat sandur menjadi unik. Sandur dimainkan di arena yang dibentuk
seperti ring tinju dengan rumbai janur kuning atau biasa disebut Blabar Janur Kuning. Para tokoh-tokoh
yang bermain teater ditempatkan pada setiap sudut. Sedangkan di bagian tengah blabar diisi Panjak Hore. Mereka adalah sekumpulan penabuh gamelan sederhana dan
penyanyi tembang-tembang yang mengiringi pertunjukan Sandur. Logat yang digunakan
dalam berdialog pun unik; tidak seperti teater pada umumnya. Logat dalam Sandur
memiliki cengkok-cengkok tertentu yang semakin menambah keunikan dan kekhasannya.
Keunikan Sandur
tidak hanya itu saja. Pada jaman dulu, Sandur memang sering dipentaskan dalam
pesta rakyat atau hajatan. Banyak sekali penikmat Sandur saat itu, mereka akan
sangat excited dan berbondong-bondong
menontonnnya. Kebanyakan dari mereka menunggu-nunggu penampilan Jaranan dan Kalongking.
Sisi magis yang Jaranan dan Kalongking suguhkan dalam setiap atraksinya konon menjadi daya tarik
tersendiri. Untuk menciptakan atraksi-atraksi yang membuat ngeri itu ternyata prosesnya
tidak sederhana. Para penari harus melakukan ritual Setren untuk mendapat daya untuk memperlancar atraksinya. Di sinilah
unsur mistis yang berasal dari kepercayaan nenek-moyang; peninggalan animisme
dan dinamisme. Persiapan Sandur harus menyiapkan sesajen bagi para roh leluhur, selain itu mereka juga harus
menginapkan alat-alat dan kostum yang akan dibuatnya pentas selama semalaman di
kuburan.
Sayang, semua keunikan
dan kekhasan kesenian tradisional itu, tidak bertahan lama dinikmati. Pada masa
pemberontakan G 30 S PKI, Sandur dinyatakan sebagai salah satu organ LEKRA
(Lembaga Kesenian Rakyat) salah satu ormas PKI. Kebijakan politik pada masa itu
memberangus segala sesuatu yang berbau PKI, dan Sandurpun menderita nasib yang
sama. Para pegiat Sandur di tangkap dan Sandur dilarang dipentaskan sejak itu.
Sandur mati suri sekitar era 65-90an. Sandur hanya tinggal nama bagi para pelakunya. Baru setelah
di tahun 90an ada pendokumentasian kesenian daerah, Sandur mulai berkutik
kembali.
Para penggiat kesenian daerah mulai sedikit demi sedikit
menghapus pandangan buruk tentang Sandur, mereka berniat untuk mengembalikan
citra baik Sandur di mata masyarakat. Sandur mulai dipentaskan kembali dalam
kesempatan-kesempatan tertentu. Meskipun itu artinya fungsi Sandur menjadi
bergeser, tidak lagi sebagai pertunjukan dalam pesta rakyat atau hajatan.
Sandur bahkan mulai diperkenalkan pada para pelajar dengan masuknya Sandur
dalam teater-teater sekolah. Para pelajar diajari bermain Sandur lalu
mementaskannya. Sandurpun kini mulai dilibatkan dalam lomba dan ditampilkan
dalam festival kesenian. Unsur-unsur mistis dari Sandurpun otomatis
dihilangkan, juga terdapat improvisasi di sana-sini dalam penyajiannya,
misalnya saja ide cerita yang disesuikan kebutuhan.
Sandur saat dipentaskan |
Dalam exhibition ini Sandur dipentaskan keliling dibeberapa kampung di Jogja untuk memperkenalkannya pada masyarakat luas |
Ketika Sandur dimainkan oleh para pelajar SMA |
Grup Invalid Sandur dari Teater Lorong Putih SMAN 1 Bojonegoro |
Beruntunglah, dengan adanya usaha-usaha menggali dan memberdayakan Sandur, masyarakat Bojonegoro patut berbangga hati. Ditemukan satu lagi potensi Bojonegoro. Kesenian pun membangun dan melestarikan kearifan lokal, selain itu juga menambah keanekaragaman jenis potensi Bojonegoro.
Keragaman jenis
potensi lokal memang sangatlah bergantung pada pola pikir dan moral
masyarakat. Bagaimana mereka mengenali akan adanya sebuah potensi untuk di
gali, bagaimana mereka memiliki kesadaran untuk mempertahankan potensi yang
sudah ada, dan bagaimana mereka mencari cara untuk mengembangkan sebuah potensi
sebagaimana mestinya. Jika pola pikir dan moral yang baik telah tertanam dalam
diri masyarakat Bojonegoro, semestinya mereka akan berlomba-lomba untuk
menggali, mempertahankan, dan mengembangkan potensi-potensi lokal dari kota
tercintanya ini.
Untuk itu, masyarakat Bojonegoro secara luas harusnya dapat
lebih mengenal Sandur. Kita patut mempertahankannya sebagai budaya warisan
leluhur, dan kemudian mengembangkannya untuk dapat dilihat di kancah yang lebih
luas lagi. Tinggal sedikit lagi kita mengasahnya, kita bisa yakin Sandur akan
kembali “berkilau” seperti sedia kala, atau bahkan lebih “berkilau”. Kilaukan
Sandur, Kilaukan Bojonegoro!
*Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog: Potensi Lokal Bojonegoro oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan Komunitas Blogger Bojonegoro
*Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog: Potensi Lokal Bojonegoro oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan Komunitas Blogger Bojonegoro
Keren keren
BalasHapusSip sip. Go sandur!
BalasHapusSemangaat sandur!
BalasHapusDari uraian tentang kesenian Bojonegoro yang satu ini, mungkin lebih baik banyak seniman-seniman teater yang membacanya. Karena menurut saya, kesenian ini belum populer terutama di masyarakat Bojonegoro sendiri. Jadi dengan adanya event ini, bisa membantu perkembangan seni asli Bojonegoro. :)
BalasHapusTerima kasih Ga!
BalasHapuskamu jadi salah satu remaja yang peduli dengan kekayaan budaya. Terima kasih atas peran aktifmu; semoga spirit begini merembes juga pada teman & adik2mu.
Sebagai pelaku kesenian tradisional ini, ucapan tulus & penghargaan setinggi-tingginya aku haturkan pdmu.
Ya, Ga.... kesenian juga budaya tak akan mampu bertahan hidup jika tanpa dukunfan dari masyarakatnya. sedemikian pula sandur.
meskipun aku tahu sendiri;
1. Dalam proses kesenian tradisional ini melibatkan kecerdasan intelektual & emosion, juga estetika para pelakunya. sengaja tdk sengaja, proses ini pun merupakan edukasi kpribadian yang tidak sedarhana lagi.
2. Sandur lahir dari masyarakat yang berbudaya adiluhung, tentu membawa kearifan & kebijakan, keteladanan, nilai2 moral yang brakar dari kebudayaan tinggi pula. ketika kesenian ini kembali bersosialusasi, 'berkilau' (pinjam istilahmu) tentu sandur akan kembali berperan juga sebagai penjaga, sekaligus penyebar nilai budaya.
3. Hidup-mati sandur, tak hanya bergantung pada upaya seniman pelakunya. Para muda 'yang merasa memiliki budaya'nya pun semestinya tidak sekadar mendokumentasi, namun mari terlibat langsung, kemudian mengembangkan sandur! entah sebagai ajang ekspresi, rekreasi, ataupun edukasi.
4. terakhir, .... deh. kesenian itu merdeka. sdh semestinya dimerdekakan dari klim. kesenian bukan milik kelompok, partai, agama, golongan tertentu, tapi milik peradaban. milik bangsa. milik manusia. .... so, ambil manfaatnya, berdayakan dayanya, agar murakapi untuk peri-kehidupan kita.
Masnoen, pelaku sandur bjn
Hapus